Holopis Kuntul Baris
Sejak masih dalam ‘kandungan’, HYPE 2018 sudah mengundang daya tarik sekaligus keraguan. Acara ini ditangani oleh barisan anak muda peserta Pendidikan Pandita Muda (PPM) yang bersaing memberikan konsep danteknis penyelenggaraan yang kemudian diseleksi. Hasilnya,ada empat anak muda,yaitu Andri, Ara, Davy,dan Nala yang terpilih menjadi motor kepanitiaan HYPE. Selanjutnya,mereka pun memilih teman-teman PPM yang dianggap bisa bekerja sama dalam menyelenggarakan HYPE. Karena dimotori oleh anak-anak REACH, tidak heran banyak beredar cerita bahwa HYPE 2018 akan terasa seperti kegiatan REACH. Ada yang merasa sebagai suatu keseruan baru, tapi ada juga yang ragu.
Hari pertama, sekitar 250-an peserta dari penginapan masing-masing telah mengenakan kostum selembar kain ala kerajaan Yunani. “Kita sempat ditanya-tanya orang karena kostum yang tidak biasa ini,“ kata Jono, peserta asal Kalimantan. Tiba di lokasi pembukaan, setelah sempat makan bersama sesuai kelompok yang kali ini disebut kerajaan dan bhre(pemimpin daerah setingkat di bawah kerajaan)untuk kelompok kecil, secara bergantian kerajaan menuju lokasi panggung terbuka yang berhiaskan dekorasi ala kerajaan.
Acara HYPE dibuka di Pasar Ngasem dengan sebuah teater yang kocak sekaligus seru yang mengangkat cerita perebutan kekuasaan raja yang berujung kematian sang raja. Dalam pentas tersebut diumumkan, pemenang HYPE selanjuutnya adalah pengganti Sang Raja.
Hari kedua sempat diwarnai kekhawatiran lantaran Gunung Merapi mengembuskan abu yang cukup tebal. Namun,dengan cepat panitia membagikan masker dan mengumumkan bahwa fenomena tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Pada hari kedua, juga diadakan pertemuan bersama Yang Arya Tozawa yang membahas persaingan di Hotel Gallery Prawirotaman. Dalam salah satu pembekalannya pada peserta, Yang Arya mengatakan, “Menang-kalah dalam persaingan itu biasa. Yang penting pelajaran apa yang bisa kita ambil.”
Acara dilanjutkan dengan Go-See,yaitu tantangan untuk menyelesaikan sejumlah aksi kebudayaan, seperti mengenakan busana pengantin ala adat jawa, panahan atau jemparingan, hingga menari dan memainkan gamelan dengan akapela.
Dalam ketergesaan, 250-an peserta menyusun strategi, menentukan personel yang terlibat, hingga menyusun anggaran. “Kelompok saya ketuanya orang Bali, sama-sama nggaktahu Jogja. Dengan modal GPS, dari lokasi menari Jawa kami pulang ke hotel dengan jalan kaki. Ternyata jauh! Capek, laper, tapi lucu juga kalau diingat-ngat. Kita ditipu GPS!“ kata Eko, peserta asal Jawa Tengah.
Dalam HYPE kali ini juga diadakan bincang-bincang yang menghadrkan Nonita Respati, pemilik butik batik Purana dan Oei Hong Djin, kolektor lukisan dan pendiri Musum OHD. Pembicaraan diawali dengan persoalan melestarikan dan menjual batik ke pasar internasional, hingga soal lukisan berharga sekian miliar, serta bagaimana mengapresiasi lukisan.
Hari makin seru, karena peserta juga diajak langsung ke Museum Oei Hong Djin (OHD) di Magelang dan mencari makna atau arti dibalik karya seni tersebut. “Kalau bukan HYPE, saya nggakpernah ke musem seni “ kata Gito asal Madiun
Pada acaraFenomena yang diadakan di Museum OHD, dibahas soal persaingan yang menghadirkan pembicara dari berbagai daerah yang terkait persaingan, dari soal jabatan, cinta,hingga persaingan antarsaudara. “Persaingan bisa bikin hidup lebih dinamis, tapi harus cerdas dan kerja keras. Jangan mudah mabuk kemenangan, tapi juga jangan sakit hati kalau kalah,” kata Pandita Utama Aiko Senosoenoto.
HYPE kali ini berakhir dengan terpilihnya kerajaan Fuego sebagai kerajaan terbaik yang diumumkan di acara Jamuan Makan Malam Kerajaan di Balkondes (balai ekonomi desa) Wanurejo, Magelang. Walau awalnya banyak peserta ragu, semuanya rasanya berakhir dengan satu kesimpulan yang sama: seru! “HYPE memang bikincapek, tapi juga bikin semangat, danbikin saya sadar bahwa hidup itu harus bekerjasama. Terima kasih telah menjadi bagian dari HYPE 2018,” kata Adrian,peserta asal Ketapang.(Seti)